daun

Jumat, 05 Desember 2014

Origami Heart




Ada rindu di sini,
Tak bisakah kau rasa begitu perindunya aku padamu…
.
.
Origami Heart
©kawaiippanda
Bahwa dengan menyakiti, aku mencari celah memasuki sudut di hatimu.
.
.
            Renge menghentikan langkahnya. Iris cokelat terang itu tampak berair. Sembab mengabu.  Di hadapannya Kyouya hanya duduk, terdiam.
            Jari-jari lentik kemudian terangkat, membelai kontur wajah sang lelaki. Sentuhan yang lembut.
            Perlahan Renge sandarkan kepalanya. Tangan itu kembali bergerak, mengajak tangan Kyouya untuk balas melakukan hal yang sama. Namun sia-sia, ia tidak menggubrisnya
            Dalam diam, sang gadis hanya tersenyum mengatupkan kedua matanya. Menyembunyikan iris cokelat sembab. Menghalangi dirinya untuk lama-lama memandangi Kyouya yang hari ini tertutup kemeja putih.
.
.
            Dua puluh tujuh panggilan tak terjawab.
            Dengan sedikit membenarkan letak kacamatanya yang terasa turun, Kyouya bangkit dari tidur terpanjangnya. Tiga jam empat puluh lima menit. Ya… sejak persiapan pernikahannya, pemuda itu jadi semakin jarang terlihat tidur. Sekarang saja ia tetap memakai kemeja putih bekas pulang dari tugas kemarin.
             “Malam nanti, bisa temani aku mencari gaun?” suara yang bahkan tanpa melihatnyapun Kyouya sudah hapal betul. Gadis itu di sana, di belakangnya. Tepatnya di sebelahnya jika ia tetap tidur tadi.
            “Renge, kau tahu kan aku tidak bisa-”
            “Tidak bisa… atau tidak mau?” ah suatu percekcokan yang kuno. Kyouya menghela napas. Sekeras apapun dia tidak akan bisa kalah darinya.
Kyoya memang selalu memilih diam. Tidak seperti Renge yang selalu meributkan semuanya. Hal sekecil apapun itu.
Nee, Kyouya. Setidaknya temani aku makan malam.”
“Renge-”
“Ya aku tahu… kau juga tidak bisa.” Dengan cepat gadis itu bangkit, menggapai pintu kemudian menutupnya dengan kasar. Meninggalkan Kyouya yang tetap berdiri dengan wajah datar.
Ya… sudah menjadi suatu kebiasaan jika gadis itu marah, atau tiba-tiba berada di dekatnya seperti barusan.
Dengan malas, ia kembali merangkak ke tempat tidur super empuknya. Berguling-guling beberapa kali. Hingga mata kelabunya menangkap sepasang benda pink yang sebagian tertutup ujung seprainya.
Sandal milik Renge.
.
.
            “Kyouya, hari ini. Apa bisa makan malam?”
            “Kyouya, gaunku sudah jadi. Indah sekali. Kau harus melihatnya.”
            “Kyouya… Otousan belum juga pulang.”
            “NeeKyouya. Bisa temani aku… sebentar saja.”
            “… akan ku bayar waktumu. Berapapun itu.”
            Deretan pesan berpengirim sama. Tidak perlu melihat namanya, Kyouya yakin itu Renge.
            Dulu… gadis ini memang sedikit pemarah, namun ia juga tetap ceria. Polos seperti gadis-gadis lainnya.
            Yah bagaimanapun, itu dulu. Waktu mereka masih SMA.
            Sekarang ia adalah seorang gadis pemikul nama ‘Houshakuji’, yang berarti pembawa warisan satu-satunya.
            Tidak menampik. Kyouya senang dengan acara perjodohan yang dibuat atas permintaan Tuan Houshakuji, ayah Renge. Apalagi orang tuanya.
            Baginya, Renge hanyalah sebuah batu loncatan tak terduga. Agar kedua orang tuanya mampu melihatnya, sebagai Kyouya. Bukan sebagai anak bungsu Ootori yang menjadi buntut langkah kakak-kakaknya.
            “Kyouya.” Panggilan riang menyambutnya dari sebrang telepon.
            “Sekarang aku ada waktu lima belas menit. Mau minum teh bersama?”
.
.
            Renge sadari itu. Meskipun mereka bertukar ribuan pesan, ratusan phonecall dan ratusan pertemuan. Hati Kyouya mungkin tidak akan bergerak bahkan satu sentimeterpun mendekat ke arahnya.
            Tangannya terhenti menekan layar ponselnya.
            “… akan ku bayar waktumu. Berapapun itu.”
            Isi pesan yang terakhir memang terdengar gila.
Oh ayolah, Renge hanya sedang kesepian. Ia hanya ingin mengobrol.
Nee Kyouya. Harus bagaimana… agar kau mau melihatku?” tangan itu semakin erat menggenggam ponselnya. Begitu erat hingga buku-buku jarinya terlihat mengungu.
Ponsel itu bergetar, menampakkan nama yang selalu bergaung di telinganya.
“Kyouya.” Panggilnya riang menyambut telepon dari sebrang sana.
“Sekarang aku ada waktu lima belas menit. Mau minum teh bersama?”
            “Ya… di tempat yang biasa?”
            “Hm.”
            Lalu terputus.
            Dengan segera gadis itu beringsut menuju closet, mencari apapun yang pantas dikenakannya sore itu.
            Sebuah terusan berwarna hitam menjadi pilihannya. Namun sial, ujung-ujung rambut panjangnya tersangkut pada saat risleting dinaikkan.
            Dengan segera, tangannya menyambar meja belajarnya. Mencari apapun yang dapat membebaskannya. Percayalah, sedikit rambut yang tersangkut terasa sangat perih di kulit kepala.
            Ia menemukan itu, gunting kain yang selalu ia gunakan untuk menjahit boneka-boneka tiruan wajah Kyouya sewaktu SMA dulu. Renge memang selalu menjadi fans Kyouya nomor satu.
            Dengan terburu, tangannya menggunting helaian-helaian rambut pirang kecoklatan miliknya. Hingga pada suatu geretan ia menjerit tertahan.
            Tanpa sengaja, ujung gunting mengenai tangan yang satunya, tangan yang ia buat untuk menahan agar rambutnya tidak semakin tertarik. Luka yang tidak dalam. Namun cukup untuk membuat rembesan darah keluar dari sela-selanya.
            Teringat waktu yang ia miliki bersama Kyouya tidak banyak. Ia meringgis sebentar, namun tetap melanjutkan memotong.
            Kyouya… hanya Kyouya yang ada di pikirannya.
.
.
            Kembali, mereka melewati lagi jalanan berbatu di depan café tempat keduanya selalu bertemu. Rasanya sudah lama sekali Kyouya tidak menapakinya, padahal café itu hanya berjarak sepuluh menit dari kediamannya dengan berjalan kaki.
Nee Kyouya…” tangan kurus itu menggenggam sedikit ujung lengan sweater abu si pemuda kacamata. Hendak memperingatkan bahwa langkahnya terlalu cepat. Namun-
“Hm, Renge kau terluka?”
Gadis itu hanya terdiam. Terasa aneh ketika Kyouya berbicara dengan intonasi yang lain. Ada sedikit luapan di hatinya ketika pemuda Ootori memperlakukannya seperti ini. Terutama ketika ia menggenggam tangannya, seperti sekarang.
“I…. Iya.”
Dengan segera, tangannya menarik Renge. Menjauhi pintu café yang bahkan sudah sangat terlihat di depan mata.
“Sepertinya acara minum teh kita batal.”
Segurat senyum terlukis dengan cepat di wajah si gadis. Barusan… Kyouya memperhatikannya?
.
.
            Renge kini terduduk di kamar tidur Kyouya. Menunggu pemuda itu membawakan sekotak obat, bisa sampai membuatnya sedikit mengantuk begini.
            Sedikit menguap, ia bersandar lebih rendah. Matanya kosong menerawang langit-langit. Seperti yang terakhir kali ia lakukan sewaktu datang ke mari hari itu.
            Hanya diam, menunggu Kyouya.
            Kemudian ia datang. Tangannya penuh membawa kotak P3K yang sepertinya terisi lengkap. Yah bagaimanapun ini adalah kediaman Ootori, keluarga pemilik insitut medis terbesar.
            Dengan tersenyum, gadis itu menyambutnya. Sepasang matanya tidak juga luput melirik sosok Kyouya semenjak pemuda itu masuk ke dalam ruangan.
            “Kenapa bisa begini?” dengan telaten pemuda itu menyapukan kapas pembersih di sekitar lukanya kemudian melingkarkan perban.
            Renge tetap membisu. Kalau dengan terluka seperti ini Kyouya jadi memperhatikannya, dengan senang hati gadis itu akan melakukan ini.
.
.
            Ia menatap cermin di hadapannya. Tatapannya kosong seolah menembus pantulan si cermin.
            “Wajah ini… apa Kyouya menyadarinya? Bahwa ini akan berubah menjadi merah ketika aku berada di dekatnya.”
            Lagi, tangan itu menyentuh ujung gunting. Tetesan darah bersama beberapa helai rambut masih melekat di sana. Mengering menjadi merah kehitaman.
            Sedetik kemudian, gunting itu telah terlapisi cairan yang baru. Goresan memanjang dari tulang pipi hingga menyentuh lehernya.
            Air matanya mulai menetes. Tangannya bergetar mengetik nomor di ponselnya.
            “Kyouya… tolong aku.”
.
.
            “Renge.” Tanpa mengetuk pintu, Kyouya menerobos kamar gadis itu. Semuanya terlihat baik-baik saja, tidak ada kekacauan apapun. Kecuali tubuh Renge yang bersandar di pinggiran tempat tidur.
            Tubuhnya sedikit bergetar. Ia menangis.
            “Renge.” Panggilnya sedikit lebih pelan daripada tadi. Matanya membelalak begitu menyadari banyaknya darah yang menutupi tangan Renge.
            Tangan yang digunakannya untuk menutup goresan tadi.
            “Perlahan angkat tanganmu dari sana.” Ucapnya menuntun tangan gadis itu untuk menjauhi sumber darah.
            Renge hanya meringgis, genggamannya pada tangan Kyouya mengetat.
.
.
            “Kyouya, hari ini… bisa kau berkunjung ke rumahku?”
            “Renge, ini sudah malam. Pejamkan matamu sebentar dan besok kita akan bertemu.”
            “Baiklah.”
            Pemuda itu melepas kacamatanya, memijiti tulang hidung. Kemudian berlanjut menekan-nekan sekitar dahinya. Rasa kantuk begitu menggelayutinya sekarang.
            Hingga dering ponsel tidak lagi bisa membangunkannya, walau ia baru saja tertidur beberapa detik lalu.
            Sungguh Kyouya sedang begitu lelah.
.
.
            “Kaki ini terlalu pendek… terlalu kecil… Kyouya mungkin tidak menyukainya.” Sedikit tertawa Renge menggoreskan lagi gunting itu pada tungkai kakinya, memanjang tipis… atau pendek, tapi dalam. Yang manapun. Yang membuat kakinya lebih cepat melekuk terbentuk.
“Lalu… punggung ini… tidak pernah Kyouya merangkulnya.” Kini  tangan itu teralih, melakukan hal yang sama. Tikaman-tikaman tak beraturan membuat beberapa lubang kecil di sana.
Gadis itu tengah berdiri, membelakangi cermin sembari mengagumi hasil kerjanya yang ia anggap lumayan cukup untuk membuat Kyouya mengamati tubuhnya.
Namun kembali, mata itu menatap rambut pirang kecoklatan miliknya tengah menutupi guratan-guratan merah itu.
Tanpa irama, satu persatu helaian rambut pirang itu terjatuh. Bercampur dengan gumpalan merah yang juga  membaur mengalir ke bawah.
Tangan itu bergetar, kesekian kalinya memencet tombol dial. Jawaban yang ia dapatkan selalu sama.
Mesin penjawab otomatis.
Dengan mata yang mulai berair, ia melompat bangkit dari tempat tidurnya. Darah masih menetes, ah bukan. Mungkin mengaliri pakaiannya. Kaki-kaki telanjangnya menelusuri aspal yang mendingin di malam itu. Tidak ada kesempatan untuk mencari sandal pink favoritnya.
Tidak peduli sudah berapa kerikil yang menusuk telapak kakinya, atau sudah berapa dalam goresan aspal menggeseknya.
Yang ia inginkan hanyalah Kyouya. Hanya pemuda itu.
Renge sudah gila. Tentu, ia terima itu. Sebegitu gilanya hingga luka-luka yang menganga itu hanya menimbulkan sedikit sakit ataupun perih menggesek bajunya yang telah menjadi compang camping.
Matanya menatap nanar kediaman Ootori yang tampak selalu sepi. Kemudian dengan langkah yang terburu ia menyebrangi jalanan.
Gadis itu tersenyum. Tidak memperhatikan cahaya yang semakin mendekat ke arahnya.
Dalam sekejap suara mengerikan memenuhi ruang pendengarannya. Berdengung. Dan begitu keras.
Tubuhnya bergelung di atas aspal.
Untuk kali ini, Renge benar-benar tidak merasakan apapun.
.
.
            Renge membuka matanya. Iris cokelat terang itu tampak berair. Sembab mengabu.  Di hadapannya Kyouya hanya duduk, terdiam.
            Jari-jari lentik kemudian terangkat, membelai kontur wajah sang lelaki. Sentuhan yang lembut.
            “….”
“……”
Sudah jelas bibirnya ia gerakkan, namun tak ada satu bunyipun yang keluar. Jari itu teralih menggenggam ujung lengan kemeja putihnya. Senada dengan warna ruangan ini.
Lelaki itu hanya memandangnya. Bibir miliknya sama bergerak, mengatakan sesuatu mungkin. Entah. Hanya dengungan.
Sedetik kemudian pupil cokelat terang itu melebar. Menyadari sesuatu yang lain hari itu.
Bahwa ia, tidak lagi bisa mendengar.
.
.
            Matahari bersinar sangat terang. Kyouya sejak tadi hanya memandang luaran jendela tanpa berniat menutupnya.

PRAAANG

Pecahan kaca itu membangunkannya, mau tak mau membuat ia menoleh.
Dari bingkai kacamatanya pantulan Renge terlihat ingin menggapai pecahan itu.
“Ingin minum?” mulanya gadis itu hanya terdiam, menatap bingung. Namun sekilas kemudian ia tersenyum begitu Kyouya menunjuk tumpahan air yang berasal dari pecahnya gelas barusan.
.
.
Nee Kyouya, seandainya hari-hari berlalu seperti ini. Selalu melihatmu. Menemanimu. Menemaniku.
.
.
Nee Kyouya, aku memang seorang yang perindu.
Menyusahkan? Maaf.
.
.
Dan, Kyouya. Maaf aku tidak dapat menyampaikan permohonan maafku. Karena aku sendiripun, tidak lagi tahu bunyi permintaan maaf itu seperti apa.

End

Redup



Gadis yang dikuncir dua di sana, namanya Linda.  Temanku.  Sepertinya dia sedang senang.  Karena sudah beberapa hari ini aku melihatnya selalu tertawa-tawa.
Sementara yang di sebelahnya, Rika.  Terkadang ia ikut tertawa.  Sembari sesekali melambai ke arahku.
Lalu… pemuda ini.  Siapa ya?
Kemarin ia membelikanku pudding.  Rasa cokelat.  Manis.  Tapi aku lupa menyimpannya dimana.  Sayang sekali, padahal baru satu atau dua sendok aku merasakannya.
Ah ya… mungkin dimakan oleh anak yang selalu mengikutiku.  Kemana ya dia.
Aku celingukan sedikit, kemudian tersenyum begitu anak itu menghampiriku dari balik badan si pemuda.  Ia menarik pelan baju putihku hingga ujung sepatuku menyentuh bebatuan sisi kolam ikan beberapa langkah dari tempatku semula berdiri.
Aku tertawa ketika ia berjongkok, mencoba menerawang ikan koi kurasa.  Wajahnya yang lucu terpantul dari permukaan kolam.  Karena tertarik, akupun melakukan hal yang sama.
Namun sayang, tidak ada pantulan apa-apa di sana.  Aku menegadah, ya… matahari telah berubah gelap.  Atau mungkin-
.
.
.
Redup
©kawaiippanda
.
.
.
Pemuda itu kembali datang.  Kali ini ia membawa dua pudding cokelat.  Seperti permintaanku tempo hari.
Ia menyapaku seperti biasa.  Tersenyum lalu menyuapkan beberapa sendok pudding.  Aku selalu menolak.  Tentu saja, di sini ada banyak orang.  Terlebih lagi, ada anak kecil di sampingku.  Harusnya ia kan yang disuapi.
Pemuda itu meninggalkanku sebentar begitu melihat Rika dari kejauhan.  Mereka mengobrol, berpisah lalu dengan riangnya si pemuda menghampiriku.
Rumah… Rumah…
Berulang kali si pemuda menyebutnya.  Hingga ia bilang hari ini aku akan diajaknya jalan-jalan.
“Tunggu. Anak itu… apa boleh dia juga ikut?”, si pemuda menatapku sebentar lalu mengangguk tersenyum.
Akupun balas tersenyum kemudian menggandeng tangan kecilnya memasuki mobil merah si pemuda.
××××
Aku menginjakkan kakiku pelan-pelan.  Ah usia memang tidak bisa bohong.  Mataku yang sedikit buram mencoba menerawang sekeliling.
Pemukiman.
Orang di sisi-sisi jalannya sibuk beraktivitas seperti kebanyakan.  Tanganku di genggam si pemuda.  Hingga ia menuntunku pada sebuah gedung besar.  Di dalamnya berisi beberapa keluarga.  Apa ya namanya.  Hmm penginapan.  Bukan.  Ah ya apartemen.  Apartemen namanya.
Ia membukakan pintunya, mempersilakanku untuk masuk terlebih dahulu.  Di dalamnya rapi, tidak mencermikan seorang laki-laki mudalah yang tinggal di sini.
Lagi, bajuku ditarik oleh anak itu.  Menyuruhku untuk duduk mungkin.  Karena begitu aku bersandar pada sofa berwarna karamel, tiba-tiba saja ia melepas tarikannya lalu kembali berlarian.
Lembutnya kain sofa ini, serasa tidak asing untuk disentuh.  Apa mereknya ya.  Nyaman sekali.
“Kamu haus?”, tanyaku dibalas anggukkan anak itu.  Wajahnya yang putih tampak merah karena kecapaian.  “Bisa ambilkan air?  Dia kehausan.”, mintaku pada si pemuda yang baru saja mengupaskan apel.
Mata sayu si pemuda kembali menatapku.  Kali ini, hanya tersenyum kecil.  Ia berbalik arah kembali ke dapur.
××××
Malam menjelang.  Namun aku masih berada di rumah si pemuda.  Apa Rika tidak khawatir ya.  Biasanya aku selalu dimarahi kalau pulang lebih sore sedikit saja.
“Nak… kamu mencoba menghibur ku?”, tawaku mengembang ketika ia memainkan raut mukanya dengan jari-jari kecil miliknya.  Sampai kami terhenti bermain karena ketukan di pintu kamar samar terdengar.
“Masih belum tidur?  Belum mengantuk?”, aku menggeleng.  “Ini, susu hangat dapat membantu untuk tidur nyenyak.”, serunya meletakkan segelas susu putih.
“Susu putih ini kesukaanmu kan nak?”, pemuda itu menoleh, tampak sedikit terkejut akan perkataan yang baru saja meluncur dariku.
Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang salah padanya.
××××
Pagi.  Aku sudah mandi dan rapi.  Seperti pagi-pagi lainnya di rumahku.
Sedikit membereskan kamar, aku terdiam.  Baju yang si pemuda berikan sangat pas sekali di badanku.  Warnanyapun aku suka.  Dan memiliki kesamaan dengan baju-baju lainnya di rumahku juga, nyaman dipakai.
Banyak hal di sini yang mengingatkanku pada rumah.
“Kapan aku akan pulang?”, tanyaku ketika si pemuda mengajakku untuk sarapan.
Sorot sayu matanya tampak meredup.  “Iya.  Setelah ini.”, ucapnya kemudian tersenyum, menggandengku menuju sofa karamel.  Menyalakan televisi.  Lalu membawakan sepiring nasi goreng.
“Enak.”, ia tampak tersipu.  “Iya… Nanti aku akan sering membawakannya.”, sedikit berkaca-kaca ia tersenyum.
Setelah membuat beberapa banyak.  Ia menyiapkannya dalam rantang kecil, tidak lupa membungkuskan sekotak besar pudding cokelat.  Tangannya penuh menggenggam beberapa kantung plastik lain.
Aku mengulurkan tanganku.  Membawakan satu plastik besar.  Tidak terasa berat, karena anak itu ikut membantu.  Ia tersenyum, matanyapun tampak merah berkaca-kaca seperti apa yang dilakukan si pemuda barusan.
××××
Jalanan kemarin kembali kami lalui.  Pemukiman, dengan segala aktivitasnya.
Kubuka album biru.
Penuh debu dan usang.
Kupandangi semua gambar diri.
Kecil bersih belum ternoda.
Alunan melodi lembut terdengar dari radio mobil.  Bibir si pemuda berbisik mengikuti iramanya sembari tetap terfokus pada jalanan.
Pikirkupun melayang.
Dahulu penuh kasih.
Merasa sedikit lelah, aku pun memejamkan mataku sebentar.  Namun suara merdu sang penyanyi masih dapat terdengar samar.
Tangisan nakal dari bibirku.
Tak ‘kan jadi deritanya.
“… Ma… Mama… Mama...”, aku membuka pelan mataku.  Pemuda itu memandangku dengan senyuman.  “Kita sudah sampai.”, ucapnya turun lalu membukakan pintu mobil.
Aku dituntunnya masuk.  Ini rumahku.
Ah aku baru sadar, di atas rumah ini ada huruf besar-besar berjejer rapi.  Itu… apa ya di ejanya.  Hmm… ‘Ru-mah-Sakit-Ji-wa’.
××××
Tangannya tetap sama seperti dulu, tangan hangat dan lembut yang selalu membelai kepalaku.
Kemudian tangan kami terlepas.  Ia segera berlari kecil menghampiri Linda, temannya.  Senyuman terpatri jelas di wajahnya yang mulai disinggahi garis-garis keriput.
Tanpa sadar akupun tersenyum.
Mungkin dengan keadaan yang tidak sempurna, kasih sayangnya untukku tidak sebesar kasih sayang ibu lain pada anaknya.  Namun, kenangan akan sosokku yang masih kecil, yang selalu menghiburnya dan dengan bangganya ia mengenalkan ‘sosokku’ pada semua penghuni rumah sakit, sudah cukup membuatku sangat senang.
“Bagaimana jalan-jalan kemarin?”, seseorang menghampirinya dan Linda.  Ia suster Rika.
 Ibuku tersenyum, mengatakan bahwa tadi pagi ia makan nasi goreng enak lalu tertidur di mobil si pemuda.  Di mobilku.
Mereka tertawa-tawa.  Tidak menyadari aku yang ikut tertawa menguping.
.
.
.
Mama, tidak perlu menjadi cahaya yang terlalu terang.  Karena bagiku, redup sudah cukup.  Dengan begitu aku bisa memandang wajahmu dengan sepuas hatiku tanpa mataku merasa lelah karena silau.
.
.
.

Redup_end

Kamis, 04 Desember 2014

nyannyan

Hajimemashite... ^^
Neko ga suki suki suki...
Uh tes tes mari kita mulai petualangan dengan sang blog... ufwufwuh