Ada
rindu di sini,
Tak
bisakah kau rasa begitu perindunya aku padamu…
.
.
Origami
Heart
©kawaiippanda
Bahwa
dengan menyakiti, aku mencari celah memasuki sudut di hatimu.
.
.
Renge menghentikan langkahnya. Iris cokelat terang itu
tampak berair. Sembab mengabu. Di
hadapannya Kyouya hanya duduk, terdiam.
Jari-jari lentik kemudian terangkat, membelai kontur
wajah sang lelaki. Sentuhan yang lembut.
Perlahan Renge sandarkan kepalanya. Tangan itu kembali
bergerak, mengajak tangan Kyouya untuk balas melakukan hal yang sama. Namun
sia-sia, ia tidak menggubrisnya
Dalam diam, sang gadis hanya tersenyum mengatupkan kedua
matanya. Menyembunyikan iris cokelat sembab. Menghalangi dirinya untuk
lama-lama memandangi Kyouya yang hari ini tertutup kemeja putih.
.
.
Dua puluh tujuh panggilan tak terjawab.
Dengan sedikit membenarkan letak kacamatanya yang terasa turun,
Kyouya bangkit dari tidur terpanjangnya. Tiga jam empat puluh lima menit. Ya…
sejak persiapan pernikahannya, pemuda itu jadi semakin jarang terlihat tidur.
Sekarang saja ia tetap memakai kemeja putih bekas pulang dari tugas kemarin.
“Malam nanti, bisa
temani aku mencari gaun?” suara yang bahkan tanpa melihatnyapun Kyouya sudah
hapal betul. Gadis itu di sana, di belakangnya. Tepatnya di sebelahnya jika ia
tetap tidur tadi.
“Renge, kau tahu kan aku tidak bisa-”
“Tidak bisa… atau tidak mau?” ah suatu percekcokan yang
kuno. Kyouya menghela napas. Sekeras apapun dia tidak akan bisa kalah darinya.
Kyoya
memang selalu memilih diam. Tidak seperti Renge yang selalu meributkan
semuanya. Hal sekecil apapun itu.
“Nee, Kyouya. Setidaknya temani aku makan
malam.”
“Renge-”
“Ya
aku tahu… kau juga tidak bisa.” Dengan cepat gadis itu bangkit, menggapai pintu
kemudian menutupnya dengan kasar. Meninggalkan Kyouya yang tetap berdiri dengan
wajah datar.
Ya…
sudah menjadi suatu kebiasaan jika gadis itu marah, atau tiba-tiba berada di
dekatnya seperti barusan.
Dengan
malas, ia kembali merangkak ke tempat tidur super empuknya. Berguling-guling
beberapa kali. Hingga mata kelabunya menangkap sepasang benda pink yang
sebagian tertutup ujung seprainya.
Sandal
milik Renge.
.
.
“Kyouya, hari ini. Apa bisa makan malam?”
“Kyouya, gaunku sudah jadi. Indah sekali. Kau harus
melihatnya.”
“Kyouya… Otousan belum
juga pulang.”
“NeeKyouya.
Bisa temani aku… sebentar saja.”
“… akan ku bayar waktumu. Berapapun itu.”
Deretan pesan berpengirim sama. Tidak perlu melihat
namanya, Kyouya yakin itu Renge.
Dulu… gadis ini memang sedikit pemarah, namun ia juga
tetap ceria. Polos seperti gadis-gadis lainnya.
Yah bagaimanapun, itu dulu. Waktu mereka masih SMA.
Sekarang ia adalah seorang gadis pemikul nama
‘Houshakuji’, yang berarti pembawa warisan satu-satunya.
Tidak menampik. Kyouya senang dengan acara perjodohan
yang dibuat atas permintaan Tuan Houshakuji, ayah Renge. Apalagi orang tuanya.
Baginya, Renge hanyalah sebuah batu loncatan tak terduga.
Agar kedua orang tuanya mampu melihatnya, sebagai Kyouya. Bukan sebagai anak
bungsu Ootori yang menjadi buntut langkah kakak-kakaknya.
“Kyouya.” Panggilan riang menyambutnya dari sebrang
telepon.
“Sekarang aku ada waktu lima belas menit. Mau minum teh
bersama?”
.
.
Renge sadari itu. Meskipun mereka bertukar ribuan pesan,
ratusan phonecall dan ratusan
pertemuan. Hati Kyouya mungkin tidak akan bergerak bahkan satu sentimeterpun
mendekat ke arahnya.
Tangannya terhenti menekan layar ponselnya.
“… akan ku bayar waktumu. Berapapun itu.”
Isi pesan yang terakhir memang terdengar gila.
Oh
ayolah, Renge hanya sedang kesepian. Ia hanya ingin mengobrol.
“Nee Kyouya. Harus bagaimana… agar kau
mau melihatku?” tangan itu semakin erat menggenggam ponselnya. Begitu erat
hingga buku-buku jarinya terlihat mengungu.
Ponsel
itu bergetar, menampakkan nama yang selalu bergaung di telinganya.
“Kyouya.”
Panggilnya riang menyambut telepon dari sebrang sana.
“Sekarang
aku ada waktu lima belas menit. Mau minum teh bersama?”
“Ya… di tempat yang biasa?”
“Hm.”
Lalu terputus.
Dengan segera gadis itu beringsut menuju closet, mencari apapun yang pantas
dikenakannya sore itu.
Sebuah terusan berwarna hitam menjadi pilihannya. Namun
sial, ujung-ujung rambut panjangnya tersangkut pada saat risleting dinaikkan.
Dengan segera, tangannya menyambar meja belajarnya.
Mencari apapun yang dapat membebaskannya. Percayalah, sedikit rambut yang
tersangkut terasa sangat perih di kulit kepala.
Ia menemukan itu, gunting kain yang selalu ia gunakan
untuk menjahit boneka-boneka tiruan wajah Kyouya sewaktu SMA dulu. Renge memang
selalu menjadi fans Kyouya nomor satu.
Dengan terburu, tangannya menggunting helaian-helaian
rambut pirang kecoklatan miliknya. Hingga pada suatu geretan ia menjerit
tertahan.
Tanpa sengaja, ujung gunting mengenai tangan yang
satunya, tangan yang ia buat untuk menahan agar rambutnya tidak semakin
tertarik. Luka yang tidak dalam. Namun cukup untuk membuat rembesan darah
keluar dari sela-selanya.
Teringat waktu yang ia miliki bersama Kyouya tidak
banyak. Ia meringgis sebentar, namun tetap melanjutkan memotong.
Kyouya… hanya Kyouya yang ada di pikirannya.
.
.
Kembali, mereka melewati lagi jalanan berbatu di depan
café tempat keduanya selalu bertemu. Rasanya sudah lama sekali Kyouya tidak
menapakinya, padahal café itu hanya berjarak sepuluh menit dari kediamannya
dengan berjalan kaki.
“Nee Kyouya…” tangan kurus itu
menggenggam sedikit ujung lengan sweater abu si pemuda kacamata. Hendak
memperingatkan bahwa langkahnya terlalu cepat. Namun-
“Hm,
Renge kau terluka?”
Gadis
itu hanya terdiam. Terasa aneh ketika Kyouya berbicara dengan intonasi yang
lain. Ada sedikit luapan di hatinya ketika pemuda Ootori memperlakukannya
seperti ini. Terutama ketika ia menggenggam tangannya, seperti sekarang.
“I….
Iya.”
Dengan
segera, tangannya menarik Renge. Menjauhi pintu café yang bahkan sudah sangat
terlihat di depan mata.
“Sepertinya
acara minum teh kita batal.”
Segurat
senyum terlukis dengan cepat di wajah si gadis. Barusan… Kyouya
memperhatikannya?
.
.
Renge kini terduduk di kamar tidur Kyouya. Menunggu
pemuda itu membawakan sekotak obat, bisa sampai membuatnya sedikit mengantuk
begini.
Sedikit menguap, ia bersandar lebih rendah. Matanya
kosong menerawang langit-langit. Seperti yang terakhir kali ia lakukan sewaktu
datang ke mari hari itu.
Hanya diam, menunggu Kyouya.
Kemudian ia datang. Tangannya penuh membawa kotak P3K
yang sepertinya terisi lengkap. Yah bagaimanapun ini adalah kediaman Ootori,
keluarga pemilik insitut medis terbesar.
Dengan tersenyum, gadis itu menyambutnya. Sepasang
matanya tidak juga luput melirik sosok Kyouya semenjak pemuda itu masuk ke
dalam ruangan.
“Kenapa bisa begini?” dengan telaten pemuda itu
menyapukan kapas pembersih di sekitar lukanya kemudian melingkarkan perban.
Renge tetap membisu. Kalau dengan terluka seperti ini
Kyouya jadi memperhatikannya, dengan senang hati gadis itu akan melakukan ini.
.
.
Ia menatap cermin di hadapannya. Tatapannya kosong seolah
menembus pantulan si cermin.
“Wajah ini… apa Kyouya menyadarinya? Bahwa ini akan
berubah menjadi merah ketika aku berada di dekatnya.”
Lagi, tangan itu menyentuh ujung gunting. Tetesan darah bersama
beberapa helai rambut masih melekat di sana. Mengering menjadi merah kehitaman.
Sedetik kemudian, gunting itu telah terlapisi cairan yang
baru. Goresan memanjang dari tulang pipi hingga menyentuh lehernya.
Air matanya mulai menetes. Tangannya bergetar mengetik
nomor di ponselnya.
“Kyouya… tolong aku.”
.
.
“Renge.” Tanpa mengetuk pintu, Kyouya menerobos kamar
gadis itu. Semuanya terlihat baik-baik saja, tidak ada kekacauan apapun.
Kecuali tubuh Renge yang bersandar di pinggiran tempat tidur.
Tubuhnya sedikit bergetar. Ia menangis.
“Renge.” Panggilnya sedikit lebih pelan daripada tadi.
Matanya membelalak begitu menyadari banyaknya darah yang menutupi tangan Renge.
Tangan yang digunakannya untuk menutup goresan tadi.
“Perlahan angkat tanganmu dari sana.” Ucapnya menuntun
tangan gadis itu untuk menjauhi sumber darah.
Renge hanya meringgis, genggamannya pada tangan Kyouya
mengetat.
.
.
“Kyouya, hari ini… bisa kau berkunjung ke rumahku?”
“Renge, ini sudah malam. Pejamkan matamu sebentar dan
besok kita akan bertemu.”
“Baiklah.”
Pemuda itu melepas kacamatanya, memijiti tulang hidung.
Kemudian berlanjut menekan-nekan sekitar dahinya. Rasa kantuk begitu
menggelayutinya sekarang.
Hingga dering ponsel tidak lagi bisa membangunkannya,
walau ia baru saja tertidur beberapa detik lalu.
Sungguh Kyouya sedang begitu lelah.
.
.
“Kaki ini terlalu pendek… terlalu kecil… Kyouya mungkin
tidak menyukainya.” Sedikit tertawa Renge menggoreskan lagi gunting itu pada
tungkai kakinya, memanjang tipis… atau pendek, tapi dalam. Yang manapun. Yang
membuat kakinya lebih cepat melekuk terbentuk.
“Lalu…
punggung ini… tidak pernah Kyouya merangkulnya.” Kini tangan itu teralih, melakukan hal yang sama.
Tikaman-tikaman tak beraturan membuat beberapa lubang kecil di sana.
Gadis
itu tengah berdiri, membelakangi cermin sembari mengagumi hasil kerjanya yang
ia anggap lumayan cukup untuk membuat Kyouya mengamati tubuhnya.
Namun
kembali, mata itu menatap rambut pirang kecoklatan miliknya tengah menutupi
guratan-guratan merah itu.
Tanpa
irama, satu persatu helaian rambut pirang itu terjatuh. Bercampur dengan
gumpalan merah yang juga membaur
mengalir ke bawah.
Tangan
itu bergetar, kesekian kalinya memencet tombol dial. Jawaban yang ia dapatkan selalu sama.
Mesin
penjawab otomatis.
Dengan
mata yang mulai berair, ia melompat bangkit dari tempat tidurnya. Darah masih
menetes, ah bukan. Mungkin mengaliri pakaiannya. Kaki-kaki telanjangnya
menelusuri aspal yang mendingin di malam itu. Tidak ada kesempatan untuk
mencari sandal pink favoritnya.
Tidak
peduli sudah berapa kerikil yang menusuk telapak kakinya, atau sudah berapa dalam
goresan aspal menggeseknya.
Yang
ia inginkan hanyalah Kyouya. Hanya pemuda itu.
Renge
sudah gila. Tentu, ia terima itu. Sebegitu gilanya hingga luka-luka yang
menganga itu hanya menimbulkan sedikit sakit ataupun perih menggesek bajunya
yang telah menjadi compang camping.
Matanya
menatap nanar kediaman Ootori yang tampak selalu sepi. Kemudian dengan langkah
yang terburu ia menyebrangi jalanan.
Gadis
itu tersenyum. Tidak memperhatikan cahaya yang semakin mendekat ke arahnya.
Dalam
sekejap suara mengerikan memenuhi ruang pendengarannya. Berdengung. Dan begitu
keras.
Tubuhnya
bergelung di atas aspal.
Untuk
kali ini, Renge benar-benar tidak merasakan apapun.
.
.
Renge membuka matanya. Iris cokelat terang itu tampak
berair. Sembab mengabu. Di hadapannya
Kyouya hanya duduk, terdiam.
Jari-jari lentik kemudian terangkat, membelai kontur
wajah sang lelaki. Sentuhan yang lembut.
“….”
“……”
Sudah
jelas bibirnya ia gerakkan, namun tak ada satu bunyipun yang keluar. Jari itu
teralih menggenggam ujung lengan kemeja putihnya. Senada dengan warna ruangan
ini.
Lelaki
itu hanya memandangnya. Bibir miliknya sama bergerak, mengatakan sesuatu
mungkin. Entah. Hanya dengungan.
Sedetik
kemudian pupil cokelat terang itu melebar. Menyadari sesuatu yang lain hari
itu.
Bahwa
ia, tidak lagi bisa mendengar.
.
.
Matahari bersinar sangat terang. Kyouya sejak tadi hanya
memandang luaran jendela tanpa berniat menutupnya.
PRAAANG
Pecahan
kaca itu membangunkannya, mau tak mau membuat ia menoleh.
Dari
bingkai kacamatanya pantulan Renge terlihat ingin menggapai pecahan itu.
“Ingin
minum?” mulanya gadis itu hanya terdiam, menatap bingung. Namun sekilas
kemudian ia tersenyum begitu Kyouya menunjuk tumpahan air yang berasal dari
pecahnya gelas barusan.
.
.
Nee Kyouya, seandainya hari-hari
berlalu seperti ini. Selalu melihatmu. Menemanimu. Menemaniku.
.
.
Nee Kyouya, aku memang seorang
yang perindu.
Menyusahkan? Maaf.
.
.
Dan, Kyouya. Maaf aku tidak
dapat menyampaikan permohonan maafku. Karena aku sendiripun, tidak lagi tahu
bunyi permintaan maaf itu seperti apa.
End