Gadis yang dikuncir dua di sana, namanya
Linda. Temanku. Sepertinya dia sedang senang. Karena sudah beberapa hari ini aku melihatnya
selalu tertawa-tawa.
Sementara yang di sebelahnya, Rika. Terkadang ia ikut tertawa. Sembari sesekali melambai ke arahku.
Lalu… pemuda ini. Siapa ya?
Kemarin ia membelikanku pudding. Rasa cokelat.
Manis. Tapi aku lupa menyimpannya
dimana. Sayang sekali, padahal baru satu
atau dua sendok aku merasakannya.
Ah ya… mungkin dimakan oleh anak yang
selalu mengikutiku. Kemana ya dia.
Aku celingukan sedikit, kemudian
tersenyum begitu anak itu menghampiriku dari balik badan si pemuda. Ia menarik pelan baju putihku hingga ujung
sepatuku menyentuh bebatuan sisi kolam ikan beberapa langkah dari tempatku
semula berdiri.
Aku tertawa ketika ia berjongkok, mencoba
menerawang ikan koi kurasa. Wajahnya yang
lucu terpantul dari permukaan kolam.
Karena tertarik, akupun melakukan hal yang sama.
Namun sayang, tidak ada pantulan apa-apa
di sana. Aku menegadah, ya… matahari telah berubah gelap. Atau mungkin-
.
.
.
Redup
©kawaiippanda
.
.
.
Pemuda itu kembali datang. Kali ini ia membawa dua pudding cokelat. Seperti permintaanku tempo hari.
Ia menyapaku seperti biasa. Tersenyum lalu menyuapkan beberapa sendok
pudding. Aku selalu menolak. Tentu saja, di sini ada banyak orang. Terlebih lagi, ada anak kecil di
sampingku. Harusnya ia kan yang disuapi.
Pemuda itu meninggalkanku sebentar begitu
melihat Rika dari kejauhan. Mereka mengobrol,
berpisah lalu dengan riangnya si pemuda menghampiriku.
Rumah… Rumah…
Berulang kali si pemuda menyebutnya. Hingga ia bilang hari ini aku akan diajaknya
jalan-jalan.
“Tunggu. Anak itu… apa boleh dia juga
ikut?”, si pemuda menatapku sebentar lalu mengangguk tersenyum.
Akupun balas tersenyum kemudian
menggandeng tangan kecilnya memasuki
mobil merah si pemuda.
××××
Aku menginjakkan kakiku pelan-pelan. Ah usia memang tidak bisa bohong. Mataku yang sedikit buram mencoba menerawang
sekeliling.
Pemukiman.
Orang di sisi-sisi jalannya sibuk
beraktivitas seperti kebanyakan.
Tanganku di genggam si pemuda.
Hingga ia menuntunku pada sebuah gedung besar. Di dalamnya berisi beberapa keluarga. Apa ya namanya. Hmm penginapan. Bukan.
Ah ya apartemen. Apartemen
namanya.
Ia membukakan pintunya, mempersilakanku
untuk masuk terlebih dahulu. Di dalamnya
rapi, tidak mencermikan seorang laki-laki mudalah yang tinggal di sini.
Lagi, bajuku ditarik oleh anak itu. Menyuruhku untuk duduk mungkin. Karena begitu aku bersandar pada sofa
berwarna karamel, tiba-tiba saja ia melepas tarikannya lalu kembali berlarian.
Lembutnya kain sofa ini, serasa tidak
asing untuk disentuh. Apa mereknya
ya. Nyaman sekali.
“Kamu haus?”, tanyaku dibalas anggukkan
anak itu. Wajahnya yang putih tampak
merah karena kecapaian. “Bisa ambilkan
air? Dia kehausan.”, mintaku pada si
pemuda yang baru saja mengupaskan apel.
Mata sayu si pemuda kembali
menatapku. Kali ini, hanya tersenyum
kecil. Ia berbalik arah kembali ke
dapur.
××××
Malam menjelang. Namun aku masih berada di rumah si
pemuda. Apa Rika tidak khawatir ya. Biasanya aku selalu dimarahi kalau pulang
lebih sore sedikit saja.
“Nak… kamu mencoba menghibur ku?”, tawaku
mengembang ketika ia memainkan raut mukanya dengan jari-jari kecil
miliknya. Sampai kami terhenti bermain
karena ketukan di pintu kamar samar terdengar.
“Masih belum tidur? Belum mengantuk?”, aku menggeleng. “Ini, susu hangat dapat membantu untuk tidur
nyenyak.”, serunya meletakkan segelas susu putih.
“Susu putih ini kesukaanmu kan nak?”,
pemuda itu menoleh, tampak sedikit terkejut akan perkataan yang baru saja
meluncur dariku.
Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang
salah padanya.
××××
Pagi.
Aku sudah mandi dan rapi. Seperti
pagi-pagi lainnya di rumahku.
Sedikit membereskan kamar, aku
terdiam. Baju yang si pemuda berikan
sangat pas sekali di badanku.
Warnanyapun aku suka. Dan
memiliki kesamaan dengan baju-baju lainnya di rumahku juga, nyaman dipakai.
Banyak hal di sini yang mengingatkanku
pada rumah.
“Kapan aku akan pulang?”, tanyaku ketika
si pemuda mengajakku untuk sarapan.
Sorot sayu matanya tampak meredup. “Iya.
Setelah ini.”, ucapnya kemudian tersenyum, menggandengku menuju sofa
karamel. Menyalakan televisi. Lalu membawakan sepiring nasi goreng.
“Enak.”, ia tampak tersipu. “Iya… Nanti aku akan sering membawakannya.”,
sedikit berkaca-kaca ia tersenyum.
Setelah membuat beberapa banyak. Ia menyiapkannya dalam rantang kecil, tidak
lupa membungkuskan sekotak besar pudding cokelat. Tangannya penuh menggenggam beberapa kantung
plastik lain.
Aku mengulurkan tanganku. Membawakan satu plastik besar. Tidak terasa berat, karena anak itu ikut
membantu. Ia tersenyum, matanyapun
tampak merah berkaca-kaca seperti apa yang dilakukan si pemuda barusan.
××××
Jalanan kemarin kembali kami lalui. Pemukiman, dengan segala aktivitasnya.
Kubuka album biru.
Penuh debu dan usang.
Kupandangi semua gambar diri.
Kecil bersih belum ternoda.
Alunan melodi lembut terdengar dari radio
mobil. Bibir si pemuda berbisik
mengikuti iramanya sembari tetap terfokus pada jalanan.
Pikirkupun melayang.
Dahulu penuh kasih.
Merasa sedikit lelah, aku pun memejamkan
mataku sebentar. Namun suara merdu sang penyanyi masih
dapat terdengar samar.
Tangisan nakal dari bibirku.
Tak ‘kan jadi deritanya.
“… Ma…
Mama… Mama...”, aku membuka pelan mataku. Pemuda
itu memandangku dengan senyuman. “Kita
sudah sampai.”, ucapnya turun lalu membukakan pintu mobil.
Aku dituntunnya masuk. Ini rumahku.
Ah aku baru sadar, di atas rumah ini ada
huruf besar-besar berjejer rapi. Itu… apa
ya di ejanya. Hmm… ‘Ru-mah-Sakit-Ji-wa’.
××××
Tangannya tetap sama seperti dulu, tangan
hangat dan lembut yang selalu membelai kepalaku.
Kemudian tangan kami terlepas. Ia segera berlari kecil menghampiri Linda,
temannya. Senyuman terpatri jelas di
wajahnya yang mulai disinggahi garis-garis keriput.
Tanpa sadar akupun tersenyum.
Mungkin dengan keadaan yang tidak
sempurna, kasih sayangnya untukku tidak sebesar kasih sayang ibu lain pada
anaknya. Namun, kenangan akan sosokku
yang masih kecil, yang selalu menghiburnya dan dengan bangganya ia mengenalkan
‘sosokku’ pada semua penghuni rumah sakit, sudah cukup membuatku sangat senang.
“Bagaimana jalan-jalan kemarin?”,
seseorang menghampirinya dan Linda. Ia suster
Rika.
Ibuku
tersenyum, mengatakan bahwa tadi pagi ia makan nasi goreng enak lalu tertidur
di mobil si pemuda. Di mobilku.
Mereka tertawa-tawa. Tidak menyadari aku yang ikut tertawa menguping.
.
.
.
Mama, tidak perlu menjadi cahaya yang terlalu terang. Karena bagiku, redup sudah cukup. Dengan begitu aku bisa memandang wajahmu
dengan sepuas hatiku tanpa mataku merasa lelah karena silau.
.
.
.
Redup_end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar