daun

Jumat, 05 Desember 2014

Redup



Gadis yang dikuncir dua di sana, namanya Linda.  Temanku.  Sepertinya dia sedang senang.  Karena sudah beberapa hari ini aku melihatnya selalu tertawa-tawa.
Sementara yang di sebelahnya, Rika.  Terkadang ia ikut tertawa.  Sembari sesekali melambai ke arahku.
Lalu… pemuda ini.  Siapa ya?
Kemarin ia membelikanku pudding.  Rasa cokelat.  Manis.  Tapi aku lupa menyimpannya dimana.  Sayang sekali, padahal baru satu atau dua sendok aku merasakannya.
Ah ya… mungkin dimakan oleh anak yang selalu mengikutiku.  Kemana ya dia.
Aku celingukan sedikit, kemudian tersenyum begitu anak itu menghampiriku dari balik badan si pemuda.  Ia menarik pelan baju putihku hingga ujung sepatuku menyentuh bebatuan sisi kolam ikan beberapa langkah dari tempatku semula berdiri.
Aku tertawa ketika ia berjongkok, mencoba menerawang ikan koi kurasa.  Wajahnya yang lucu terpantul dari permukaan kolam.  Karena tertarik, akupun melakukan hal yang sama.
Namun sayang, tidak ada pantulan apa-apa di sana.  Aku menegadah, ya… matahari telah berubah gelap.  Atau mungkin-
.
.
.
Redup
©kawaiippanda
.
.
.
Pemuda itu kembali datang.  Kali ini ia membawa dua pudding cokelat.  Seperti permintaanku tempo hari.
Ia menyapaku seperti biasa.  Tersenyum lalu menyuapkan beberapa sendok pudding.  Aku selalu menolak.  Tentu saja, di sini ada banyak orang.  Terlebih lagi, ada anak kecil di sampingku.  Harusnya ia kan yang disuapi.
Pemuda itu meninggalkanku sebentar begitu melihat Rika dari kejauhan.  Mereka mengobrol, berpisah lalu dengan riangnya si pemuda menghampiriku.
Rumah… Rumah…
Berulang kali si pemuda menyebutnya.  Hingga ia bilang hari ini aku akan diajaknya jalan-jalan.
“Tunggu. Anak itu… apa boleh dia juga ikut?”, si pemuda menatapku sebentar lalu mengangguk tersenyum.
Akupun balas tersenyum kemudian menggandeng tangan kecilnya memasuki mobil merah si pemuda.
××××
Aku menginjakkan kakiku pelan-pelan.  Ah usia memang tidak bisa bohong.  Mataku yang sedikit buram mencoba menerawang sekeliling.
Pemukiman.
Orang di sisi-sisi jalannya sibuk beraktivitas seperti kebanyakan.  Tanganku di genggam si pemuda.  Hingga ia menuntunku pada sebuah gedung besar.  Di dalamnya berisi beberapa keluarga.  Apa ya namanya.  Hmm penginapan.  Bukan.  Ah ya apartemen.  Apartemen namanya.
Ia membukakan pintunya, mempersilakanku untuk masuk terlebih dahulu.  Di dalamnya rapi, tidak mencermikan seorang laki-laki mudalah yang tinggal di sini.
Lagi, bajuku ditarik oleh anak itu.  Menyuruhku untuk duduk mungkin.  Karena begitu aku bersandar pada sofa berwarna karamel, tiba-tiba saja ia melepas tarikannya lalu kembali berlarian.
Lembutnya kain sofa ini, serasa tidak asing untuk disentuh.  Apa mereknya ya.  Nyaman sekali.
“Kamu haus?”, tanyaku dibalas anggukkan anak itu.  Wajahnya yang putih tampak merah karena kecapaian.  “Bisa ambilkan air?  Dia kehausan.”, mintaku pada si pemuda yang baru saja mengupaskan apel.
Mata sayu si pemuda kembali menatapku.  Kali ini, hanya tersenyum kecil.  Ia berbalik arah kembali ke dapur.
××××
Malam menjelang.  Namun aku masih berada di rumah si pemuda.  Apa Rika tidak khawatir ya.  Biasanya aku selalu dimarahi kalau pulang lebih sore sedikit saja.
“Nak… kamu mencoba menghibur ku?”, tawaku mengembang ketika ia memainkan raut mukanya dengan jari-jari kecil miliknya.  Sampai kami terhenti bermain karena ketukan di pintu kamar samar terdengar.
“Masih belum tidur?  Belum mengantuk?”, aku menggeleng.  “Ini, susu hangat dapat membantu untuk tidur nyenyak.”, serunya meletakkan segelas susu putih.
“Susu putih ini kesukaanmu kan nak?”, pemuda itu menoleh, tampak sedikit terkejut akan perkataan yang baru saja meluncur dariku.
Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang salah padanya.
××××
Pagi.  Aku sudah mandi dan rapi.  Seperti pagi-pagi lainnya di rumahku.
Sedikit membereskan kamar, aku terdiam.  Baju yang si pemuda berikan sangat pas sekali di badanku.  Warnanyapun aku suka.  Dan memiliki kesamaan dengan baju-baju lainnya di rumahku juga, nyaman dipakai.
Banyak hal di sini yang mengingatkanku pada rumah.
“Kapan aku akan pulang?”, tanyaku ketika si pemuda mengajakku untuk sarapan.
Sorot sayu matanya tampak meredup.  “Iya.  Setelah ini.”, ucapnya kemudian tersenyum, menggandengku menuju sofa karamel.  Menyalakan televisi.  Lalu membawakan sepiring nasi goreng.
“Enak.”, ia tampak tersipu.  “Iya… Nanti aku akan sering membawakannya.”, sedikit berkaca-kaca ia tersenyum.
Setelah membuat beberapa banyak.  Ia menyiapkannya dalam rantang kecil, tidak lupa membungkuskan sekotak besar pudding cokelat.  Tangannya penuh menggenggam beberapa kantung plastik lain.
Aku mengulurkan tanganku.  Membawakan satu plastik besar.  Tidak terasa berat, karena anak itu ikut membantu.  Ia tersenyum, matanyapun tampak merah berkaca-kaca seperti apa yang dilakukan si pemuda barusan.
××××
Jalanan kemarin kembali kami lalui.  Pemukiman, dengan segala aktivitasnya.
Kubuka album biru.
Penuh debu dan usang.
Kupandangi semua gambar diri.
Kecil bersih belum ternoda.
Alunan melodi lembut terdengar dari radio mobil.  Bibir si pemuda berbisik mengikuti iramanya sembari tetap terfokus pada jalanan.
Pikirkupun melayang.
Dahulu penuh kasih.
Merasa sedikit lelah, aku pun memejamkan mataku sebentar.  Namun suara merdu sang penyanyi masih dapat terdengar samar.
Tangisan nakal dari bibirku.
Tak ‘kan jadi deritanya.
“… Ma… Mama… Mama...”, aku membuka pelan mataku.  Pemuda itu memandangku dengan senyuman.  “Kita sudah sampai.”, ucapnya turun lalu membukakan pintu mobil.
Aku dituntunnya masuk.  Ini rumahku.
Ah aku baru sadar, di atas rumah ini ada huruf besar-besar berjejer rapi.  Itu… apa ya di ejanya.  Hmm… ‘Ru-mah-Sakit-Ji-wa’.
××××
Tangannya tetap sama seperti dulu, tangan hangat dan lembut yang selalu membelai kepalaku.
Kemudian tangan kami terlepas.  Ia segera berlari kecil menghampiri Linda, temannya.  Senyuman terpatri jelas di wajahnya yang mulai disinggahi garis-garis keriput.
Tanpa sadar akupun tersenyum.
Mungkin dengan keadaan yang tidak sempurna, kasih sayangnya untukku tidak sebesar kasih sayang ibu lain pada anaknya.  Namun, kenangan akan sosokku yang masih kecil, yang selalu menghiburnya dan dengan bangganya ia mengenalkan ‘sosokku’ pada semua penghuni rumah sakit, sudah cukup membuatku sangat senang.
“Bagaimana jalan-jalan kemarin?”, seseorang menghampirinya dan Linda.  Ia suster Rika.
 Ibuku tersenyum, mengatakan bahwa tadi pagi ia makan nasi goreng enak lalu tertidur di mobil si pemuda.  Di mobilku.
Mereka tertawa-tawa.  Tidak menyadari aku yang ikut tertawa menguping.
.
.
.
Mama, tidak perlu menjadi cahaya yang terlalu terang.  Karena bagiku, redup sudah cukup.  Dengan begitu aku bisa memandang wajahmu dengan sepuas hatiku tanpa mataku merasa lelah karena silau.
.
.
.

Redup_end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar